Tarif Dagang Donald Trump Tekan Ekonomi Global, BI Turunkan Proyeksi Jadi 2,9%
Pendahuluan
Donald Trump Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan sejumlah negara mitra dagangnya kembali menjadi sorotan dunia. Kebijakan tarif yang diberlakukan oleh pemerintahan mantan Presiden Donald Trump—sebagai bagian dari strategi proteksionis “America First”—masih menyisakan dampak berkepanjangan terhadap perekonomian global. Tak hanya negara maju, negara berkembang juga turut merasakan imbasnya.
Terbaru, Bank Indonesia (BI) mengumumkan bahwa pihaknya telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 2,9 persen dari sebelumnya 3,1 persen. Revisi ini mencerminkan kekhawatiran atas memburuknya hubungan dagang global dan melemahnya kinerja ekspor berbagai negara sebagai akibat dari perang dagang yang belum sepenuhnya reda.
Table of Contents
Latar Belakang Kebijakan Tarif Trump
Sejak menjabat pada 2017, Donald Trump meluncurkan serangkaian kebijakan perdagangan yang menargetkan negara-negara seperti Tiongkok, Uni Eropa, Meksiko, dan Kanada. Tarif tinggi dikenakan terhadap berbagai produk impor—mulai dari baja, aluminium, hingga barang elektronik—dengan alasan melindungi industri domestik AS dan menyeimbangkan neraca perdagangan yang defisit.
Langkah ini memicu respons balasan dari negara-negara mitra dagang, menciptakan situasi tit-for-tat yang pada akhirnya memperlambat arus perdagangan internasional. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, turut terdampak karena menurunnya permintaan global dan gangguan pada rantai pasok dunia.
Respon Bank Indonesia dan Penyesuaian Proyeksi
Dalam laporan kebijakan moneter terbarunya, Bank Indonesia (BI) menyampaikan bahwa tekanan eksternal yang dihadapi perekonomian global masih berada pada tingkat yang cukup tinggi. Hal ini terutama disebabkan oleh tingginya ketidakpastian global, yang bersumber dari berbagai faktor, dengan perdagangan internasional sebagai salah satu aspek paling terdampak. Perang dagang yang dilancarkan sejak era Presiden Donald Trump, ditambah ketegangan geopolitik yang masih berlangsung di berbagai kawasan dunia, telah menciptakan disrupsi pada rantai pasok global, menurunkan volume perdagangan, dan melemahkan kepercayaan pasar.
Menanggapi kondisi tersebut, BI memutuskan untuk menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini menjadi 2,9 persen, dari sebelumnya 3,1 persen. Revisi ini bukan sekadar angka, tetapi mencerminkan keprihatinan mendalam atas melambatnya aktivitas ekonomi global secara keseluruhan. Proyeksi ini juga selaras dengan pandangan lembaga internasional lainnya seperti IMF dan OECD yang sebelumnya telah mengisyaratkan tren perlambatan ekonomi dunia.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, menegaskan bahwa penyesuaian proyeksi tersebut mempertimbangkan beberapa indikator makroekonomi utama di negara-negara berpengaruh. Salah satu indikator paling jelas adalah penurunan tajam ekspor di negara-negara dengan kontribusi besar terhadap perdagangan dunia, seperti Tiongkok, Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat. Negara-negara tersebut mengalami penurunan permintaan eksternal akibat kebijakan dagang yang lebih tertutup, inflasi tinggi, dan perubahan perilaku konsumsi pasca pandemi.
Selain itu, pemulihan ekonomi pasca-COVID-19 yang belum merata menjadi salah satu faktor penting yang turut mendorong koreksi proyeksi ini. Meskipun sejumlah negara telah mencatat pertumbuhan positif, namun sebagian lainnya masih berjuang mengatasi dampak jangka panjang dari pandemi, baik dari sisi kesehatan publik, produktivitas tenaga kerja, hingga tekanan fiskal dan utang negara.
Faktor berikutnya yang tak kalah signifikan adalah tingginya suku bunga acuan di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan kawasan Euro. Kebijakan moneter yang ketat—yang diterapkan untuk mengendalikan inflasi—berimbas pada turunnya likuiditas global, meningkatnya biaya pinjaman, dan berkurangnya investasi lintas negara. Kondisi ini menciptakan tekanan tambahan terhadap permintaan global, yang pada akhirnya menekan aktivitas ekspor dan impor di hampir seluruh kawasan.
Dengan mempertimbangkan keseluruhan dinamika tersebut, BI mengambil langkah antisipatif melalui penyesuaian proyeksi, sambil terus melakukan pemantauan terhadap perkembangan eksternal yang dapat memengaruhi stabilitas ekonomi nasional. Revisi ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pengambil kebijakan untuk memperkuat strategi dalam menghadapi ketidakpastian global yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda dalam waktu dekat.
Dampak Terhadap Indonesia
Revisi proyeksi ekonomi global tentu memiliki konsekuensi terhadap perekonomian domestik. Dengan melemahnya permintaan dunia, ekspor Indonesia berisiko turun, terutama untuk komoditas unggulan seperti batu bara, minyak sawit (CPO), dan logam dasar.
Selain itu, ketidakpastian pasar keuangan global yang disebabkan oleh eskalasi perang dagang dan kebijakan suku bunga global yang ketat, berpotensi meningkatkan volatilitas nilai tukar rupiah serta mempersulit arus investasi masuk (foreign direct investment).
Meski demikian, BI menyatakan tetap optimis terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, dengan catatan pemerintah dapat menjaga stabilitas inflasi, memperkuat stimulus fiskal, dan mendorong konsumsi domestik sebagai penopang pertumbuhan.
Analisis Ekonom: Risiko dan Strategi Antisipasi
Sejumlah ekonom menilai bahwa penurunan proyeksi pertumbuhan global oleh BI adalah langkah realistis dalam menghadapi dinamika global yang semakin tidak menentu.
Menurut analis dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Indonesia perlu:
- Mengurangi ketergantungan pada pasar ekspor tradisional, seperti AS dan Tiongkok, dan mulai memperluas pasar ekspor ke Afrika dan Timur Tengah.
- Mendorong hilirisasi industri agar nilai tambah ekspor meningkat dan tidak hanya bergantung pada bahan mentah.
- Memperkuat daya saing domestik melalui investasi pada sektor pendidikan, infrastruktur digital, dan penguatan UMKM.
Pemerintah juga didorong untuk mempercepat pelaksanaan program substitusi impor dan memperbaiki iklim investasi agar lebih atraktif di mata investor asing.
Kesimpulan
Kebijakan tarif dagang yang diberlakukan oleh mantan Presiden Trump menjadi titik awal dari perubahan besar dalam tatanan perdagangan global. Meskipun telah berganti pemerintahan di AS, dampak kebijakan proteksionis ini masih terasa dan memicu revisi proyeksi ekonomi dari berbagai lembaga dunia, termasuk Bank Indonesia.
Dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang kini berada di angka 2,9 persen, Indonesia perlu mengambil langkah strategis untuk mengantisipasi perlambatan global ini. Fokus pada penguatan sektor domestik, diversifikasi pasar ekspor, dan stabilitas makroekonomi menjadi kunci agar ekonomi nasional tetap tumbuh di tengah tekanan global yang kian kompleks.
Post Comment