China Menggertak Balik: Kartu Pamungkas di Meja Perang Dagang

China Menggertak Balik: Kartu Pamungkas di Meja Perang Dagang

China Sejak awal dekade 2010-an, dunia menyaksikan babak baru dalam peta ekonomi global—perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Dua kekuatan ekonomi terbesar dunia ini saling beradu tarif, regulasi, hingga dominasi teknologi. Namun di balik perang tarif yang mendominasi headline, ada strategi-strategi diam-diam yang disiapkan sebagai “senjata pamungkas”. Kini, China mulai menunjukkan kartunya.

Langkah-langkah yang sebelumnya cenderung defensif mulai bergeser. China tidak lagi hanya bertahan, tapi juga menggertak balik. Apa saja strategi yang digelar Beijing? Dan mengapa langkah ini dianggap sebagai “kartu pamungkas” dalam konflik dagang berkepanjangan?


🔹 Perang Dagang: Lebih dari Sekadar Tarif

Ketegangan dagang antara dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat dan China, mulai memasuki babak panas pada tahun 2018, ketika pemerintahan Presiden Donald J. Trump secara resmi memberlakukan tarif impor besar-besaran terhadap produk-produk asal China senilai ratusan miliar dolar AS. Langkah ini tidak datang tiba-tiba, tapi merupakan puncak dari kekhawatiran lama yang telah berkembang di kalangan pembuat kebijakan Amerika selama bertahun-tahun—terutama terkait defisit perdagangan yang kronis, tuduhan pencurian kekayaan intelektual, dan kekhawatiran bahwa China sedang menantang dominasi ekonomi dan teknologi Barat.

Trump, yang mengusung slogan “America First”, memandang hubungan dagang dengan China sebagai hubungan yang timpang. Amerika, menurutnya, terlalu lama dirugikan karena membiarkan China mengekspor barang dalam jumlah besar ke pasar AS tanpa mendapat perlakuan setara untuk produk Amerika di pasar Tiongkok. Selain itu, ada tudingan serius mengenai praktik transfer paksa teknologi, subsidi besar-besaran kepada perusahaan milik negara (BUMN), dan manipulasi mata uang untuk menjaga daya saing ekspor China.

Langkah-langkah yang diambil Washington mencakup pemberlakuan tarif tambahan terhadap berbagai produk strategis China, mulai dari baja dan aluminium hingga barang-barang teknologi tinggi seperti komponen elektronik, mesin, dan kendaraan. Tarif ini dimaksudkan sebagai tekanan ekonomi agar China mengubah praktik dagangnya. Namun, respons Beijing juga tidak kalah agresif. China memberlakukan tarif balasan terhadap ribuan produk AS, terutama barang-barang pertanian seperti kedelai, jagung, dan daging, yang merupakan tulang punggung ekspor dari negara-negara bagian pendukung Trump.

Hasilnya? Dunia memasuki masa ketidakpastian ekonomi yang cukup panjang. Investor global khawatir, pasar saham bergejolak, rantai pasok global terganggu, dan pertumbuhan ekonomi dunia mulai menunjukkan perlambatan. Multinasional pun mulai mengkaji ulang ketergantungan mereka terhadap produksi di China, sementara perusahaan-perusahaan teknologi menghadapi tekanan dari dua arah, dipaksa memilih antara loyalitas pasar China atau kebijakan keamanan AS.

Namun konflik ini lebih dalam daripada sekadar angka neraca perdagangan atau daftar tarif. Ini bukan hanya soal siapa menjual apa kepada siapa, tapi soal pertarungan pengaruh, ideologi ekonomi, dan dominasi masa depan.

China, dengan visinya menjadi pemimpin global pada pertengahan abad ke-21, tidak ingin sekadar menjadi “pabrik dunia”. Melalui program ambisius seperti “Made in China 2025”, Beijing menargetkan dominasi di sektor teknologi tinggi seperti kecerdasan buatan (AI), semikonduktor, robotik, bioteknologi, dan energi terbarukan. Ini bertentangan langsung dengan kepentingan strategis Amerika Serikat, yang selama ini menjadi poros utama dalam bidang tersebut.

Sementara itu, Amerika tidak ingin melihat munculnya kekuatan tandingan yang bisa mengganggu tatanan dunia pasca-Perang Dunia II yang sebagian besar dirancang dan dikontrol oleh Washington. Ketakutan terbesar AS bukan hanya kehilangan pasar atau pekerjaan, tetapi kehilangan hegemoni ekonomi global yang selama ini menjadi dasar kekuatan geopolitiknya.

Konflik dagang ini, pada dasarnya, adalah konflik ideologis dan struktural. China mewakili model ekonomi terpusat yang didorong oleh negara, dengan peran besar pemerintah dalam menentukan arah industri dan pasar. Sementara Amerika memegang prinsip pasar bebas dan persaingan terbuka—setidaknya dalam retorikanya. Ketika dua sistem ekonomi dengan filosofi yang sangat berbeda bertabrakan di panggung global, maka wajar jika perbedaan tersebut tidak bisa diselesaikan hanya dengan perundingan tarif.

Konflik ini pun merembet ke sektor-sektor yang sangat strategis, terutama teknologi dan rantai pasok global. Ketika AS melarang perusahaan-perusahaan seperti Huawei dan ZTE mengakses teknologi Amerika, atau menekan negara-negara lain agar tidak menggunakan infrastruktur 5G buatan China, Beijing menanggapi dengan mempercepat pengembangan teknologi dalam negeri dan membatasi ekspor bahan baku vital seperti tanah jarang (rare earth elements)—yang merupakan komponen penting dalam industri teknologi tinggi.

Dengan kata lain, perang dagang ini telah berevolusi menjadi konflik teknologi, ekonomi, dan geopolitik. Ini adalah perseteruan untuk menentukan siapa yang akan menulis aturan main baru dalam ekonomi global abad ke-21. Di tengah ketegangan yang terus membara, dunia hanya bisa menebak: apakah ini akan mereda dalam bentuk kesepakatan yang saling menguntungkan, atau akan terus meningkat menuju bentuk konfrontasi yang lebih kompleks dan menyeluruh?


🔸 China Menyusun Balasan: Tidak Sekadar Tarif Balik

China menyadari bahwa membalas tarif dengan tarif tak akan membawa kemenangan jangka panjang. Maka, strategi yang lebih kompleks dan terstruktur pun mulai terlihat. Berikut beberapa “kartu pamungkas” yang kini mulai dimainkan:

1. Pengendalian Ekspor Mineral Kritis

Salah satu langkah paling tegas adalah pembatasan ekspor mineral tanah jarang (rare earth elements), bahan penting untuk produk teknologi tinggi, termasuk semikonduktor, baterai kendaraan listrik, dan persenjataan canggih. China menguasai lebih dari 60% produksi global tanah jarang, menjadikannya senjata strategis yang sangat ampuh.

Pada 2023, China memberlakukan kontrol ekspor terhadap gallium dan germanium, dua mineral penting dalam pembuatan chip dan peralatan militer. Langkah ini memicu kekhawatiran luas di kalangan industri teknologi Barat.

2. Diversifikasi Mitra Dagang

Alih-alih terus bergantung pada pasar Amerika, China semakin agresif menjalin kerja sama perdagangan dengan negara-negara Global South dan Eropa Timur. Inisiatif seperti Belt and Road Initiative (BRI) dan keanggotaan dalam blok-blok ekonomi seperti RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) menjadi cara China memperluas pengaruh tanpa harus mengandalkan pasar AS.

3. Dominasi Teknologi Domestik

Melalui program “Made in China 2025” dan dukungan agresif terhadap raksasa teknologi lokal seperti Huawei, SMIC, dan BYD, mempercepat kemandirian teknologinya. Bahkan setelah dikenai larangan akses ke teknologi chip AS, Beijing justru menggandakan investasi dalam pengembangan semikonduktor domestik.

4. Senjata Finansial: Yuan Digital dan De-dolarisasi

China juga mulai menggoyang dominasi dolar AS dengan mempercepat pengembangan yuan digital (e-CNY) dan memperluas transaksi internasional dengan mata uang lokal. Upaya ini tampak dalam kerja sama perdagangan energi dengan Rusia dan negara-negara Timur Tengah, yang mulai menerima pembayaran dalam yuan—langkah kecil menuju de-dolarisasi global.


🔹 Menggertak atau Memaksa Negosiasi?

Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa kini bermain dalam level yang berbeda. Tidak lagi hanya merespons, tapi mengatur permainan dengan logika strategis jangka panjang. Gertakan ini tidak hanya ditujukan kepada Amerika, tapi juga kepada negara-negara lain yang menjadi penonton (dan mungkin korban) dari ketegangan dua raksasa ekonomi.

Tentu, ada risiko di balik semua ini. Dunia sangat terhubung, dan ekonomi global terlalu saling terkait untuk bertahan dalam konflik jangka panjang. Namun tampaknya siap mengambil risiko demi memastikan kedaulatan ekonominya tidak diganggu oleh tekanan geopolitik.


🔸 Penutup: Siapa yang Menang?

Belum ada pemenang. Namun satu hal yang pasti, China telah menunjukkan bahwa ia tidak akan duduk diam dalam menghadapi tekanan. Dengan kekuatan produksi, dominasi sumber daya, dan visi strategis jangka panjang, Beijing kini siap memainkan semua kartu terbaiknya.

Perang dagang telah berubah menjadi perang strategi. Dan dalam perang ini, yang paling sabar dan paling siap menghadapi jangka panjang—bukan yang paling keras—yang akan keluar sebagai pemenang.

Post Comment